Peringatan 30 September atau yang lebih dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI) selalu menjadi momen yang penuh perdebatan di Indonesia. Setiap tahunnya, bangsa ini diingatkan akan sejarah kelam di tahun 1965 ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) diduga terlibat dalam pemberontakan yang menewaskan sejumlah jenderal TNI. Meski peristiwa ini terjadi hampir 60 tahun lalu, jejaknya masih terasa hingga kini, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia.
Namun, bagaimana siswa masa kini harus menyikapi sejarah yang penuh dengan kontroversi dan kompleksitas ini? Di tengah dinamika perubahan zaman, kemajuan teknologi, dan arus informasi yang semakin terbuka, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi generasi muda, khususnya dalam memahami sejarah G30 S/PKI. Apakah mereka hanya akan melihatnya sebagai sebuah fakta sejarah, atau lebih jauh lagi, sebagai refleksi untuk membangun karakter yang lebih kritis dan peka terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa?
Siswa masa kini hidup di era digital, di mana informasi tersedia dalam hitungan detik di layar ponsel. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang mengandalkan buku teks atau narasi resmi dari pemerintah, generasi saat ini memiliki akses tak terbatas ke berbagai sudut pandang. Mereka dapat mencari tahu mengenai G30 S/PKI dari sumber yang beragam—baik dari buku, artikel, film dokumenter, hingga narasi yang beredar di media sosial. Namun, justru karena akses yang begitu luas inilah, siswa perlu memiliki kemampuan menyaring informasi secara kritis.
Memahami sejarah tidak sekadar menerima apa yang tertulis di buku pelajaran. Mengingat sejarah 30 S/PKI juga harus dilihat sebagai upaya untuk memahami konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupi peristiwa tersebut. Bagi siswa masa kini, penting untuk melihat bagaimana narasi sejarah dibentuk, siapa yang menyusun narasi tersebut, dan apa kepentingannya. Dengan demikian, mereka tidak hanya mengingat tanggal dan tokoh penting, tetapi juga mampu berpikir kritis dan memahami bahwa sejarah sering kali ditulis oleh pemenang, dengan versi yang mungkin berbeda dari kenyataan di lapangan.
Sejarah G30 S/PKI sendiri adalah salah satu bab yang paling rumit dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ada versi resmi pemerintah yang menempatkan PKI sebagai dalang utama dalam pemberontakan. Di sisi lain, seiring dengan terbukanya akses ke dokumen dan penelitian baru, muncul berbagai versi lain yang mempertanyakan keabsahan narasi tersebut. Hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam memahami peristiwa ini.
Generasi muda, termasuk siswa di sekolah, perlu memahami bahwa sejarah tidak selalu hitam dan putih. Dalam kasus G30 S/PKI, banyak faktor yang melatarbelakangi peristiwa ini, mulai dari dinamika politik internasional pada masa Perang Dingin, ketegangan antara militer dan PKI, hingga dampak dari gerakan revolusioner di negara-negara lain. Siswa perlu belajar untuk tidak cepat mengambil kesimpulan atau menerima satu versi sejarah tanpa melakukan kajian mendalam.
Sebagai contoh, banyak siswa yang mungkin hanya mengetahui G30 S/PKI dari film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang menjadi tontonan wajib di era Orde Baru. Film tersebut dibuat dengan tujuan propaganda politik untuk memperkuat narasi pemerintah pada masa itu. Namun, film tersebut hanya menyajikan satu sisi cerita dan tidak memberikan gambaran utuh tentang peristiwa yang sebenarnya terjadi. Oleh karena itu, penting bagi siswa masa kini untuk tidak hanya mengandalkan satu sumber saja dalam memahami sejarah, tetapi mencari informasi dari berbagai sudut pandang yang lebih komprehensif.
Dalam menyikapi sejarah yang kompleks seperti G30 S/PKI, sikap kritis menjadi salah satu kemampuan yang sangat penting. Sikap kritis berarti mampu bertanya, meragukan, dan mencari kebenaran dari berbagai sudut pandang. Di era informasi yang begitu deras seperti sekarang ini, siswa tidak boleh hanya menjadi konsumen pasif dari apa yang mereka baca atau dengar.
Untuk menumbuhkan sikap kritis, sekolah dan guru memiliki peran yang sangat penting. Pendidikan sejarah harus lebih dari sekadar hafalan peristiwa dan tokoh. Guru perlu mendorong siswa untuk berdiskusi, menganalisis, dan bahkan mempertanyakan narasi sejarah yang disajikan kepada mereka. Melalui pendekatan ini, siswa akan belajar untuk melihat sejarah sebagai sesuatu yang dinamis, yang terus berubah sesuai dengan penemuan baru dan perubahan konteks sosial-politik.
Selain itu, siswa juga perlu diajarkan untuk berpikir analitis dan reflektif. Misalnya, ketika mempelajari peristiwa 30 S/PKI, mereka bisa diajak untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang menyebabkan konflik ini terjadi? Bagaimana peran individu dan kelompok dalam peristiwa tersebut? Apa dampak dari peristiwa ini bagi bangsa Indonesia hingga saat ini? Dengan demikian, siswa tidak hanya memahami sejarah sebagai sesuatu yang sudah berlalu, tetapi sebagai pelajaran yang bisa mereka ambil untuk masa depan.
Salah satu tantangan besar dalam memahami sejarah G30 S/PKI adalah menjaga objektivitas. Mengingat peristiwa ini melibatkan berbagai kepentingan politik, ideologi, dan bahkan agama, tidak jarang narasi sejarah yang beredar dipengaruhi oleh bias dan kepentingan tertentu. Bagi siswa masa kini, penting untuk tidak terjebak dalam narasi yang mengarah pada polarisasi atau ekstremisme.
Menjaga objektivitas berarti membuka diri terhadap berbagai pandangan dan fakta, meskipun fakta-fakta tersebut mungkin berbeda dari keyakinan awal kita. Sebagai contoh, siswa bisa diajak untuk memahami mengapa beberapa kelompok masyarakat merasa bahwa PKI adalah ancaman besar bagi Indonesia pada masa itu, sementara kelompok lain justru merasa bahwa PKI telah difitnah dan dijadikan kambing hitam oleh rezim yang berkuasa. Dengan memahami sudut pandang yang beragam, siswa akan lebih bijak dalam menyikapi sejarah, tidak mudah terprovokasi, dan mampu mengambil sikap yang rasional.
Mengapa siswa masa kini perlu mempelajari peristiwa G30 S/PKI yang terjadi puluhan tahun lalu? Sejarah bukanlah sekadar cerita masa lalu. Peristiwa G30 S/PKI mengajarkan banyak hal tentang dinamika politik, kekuasaan, ideologi, dan dampak konflik terhadap kehidupan masyarakat. Pemahaman yang baik tentang sejarah akan membantu siswa dalam memahami isu-isu kontemporer yang dihadapi bangsa ini.
Misalnya, sejarah G30 S/PKI bisa menjadi pelajaran tentang bahaya ideologi ekstremis yang berpotensi memecah belah bangsa. Di era modern, ketika radikalisme dan intoleransi masih menjadi ancaman nyata, siswa dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut untuk lebih menghargai pluralisme, persatuan, dan demokrasi. Selain itu, peristiwa ini juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga stabilitas politik dan bagaimana kekuasaan yang tidak terkendali bisa berujung pada tragedi kemanusiaan.
Sejarah juga membantu siswa memahami identitas nasional mereka. Dengan mempelajari peristiwa G30 S/PKI, siswa dapat mengembangkan rasa cinta tanah air yang lebih mendalam, bukan hanya berdasarkan nasionalisme buta, tetapi berdasarkan pemahaman yang kritis dan rasional terhadap sejarah bangsanya. Mereka juga akan lebih peka terhadap isu-isu politik dan sosial yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, sehingga dapat berperan aktif dalam menjaga keutuhan dan kemajuan negara di masa depan.
Mempelajari sejarah G30 S/PKI bukanlah tugas yang mudah bagi siswa masa kini, terutama karena kompleksitas dan kontroversi yang menyertainya. Namun, dengan sikap kritis, objektivitas, dan keterbukaan terhadap berbagai sudut pandang, siswa dapat memahami peristiwa ini dengan lebih mendalam dan bijak. Sejarah adalah cermin masa lalu yang bisa memberikan pelajaran berharga bagi masa depan. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk terus belajar dari sejarah, tidak hanya untuk mengenang, tetapi juga untuk membangun karakter yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mataram, 30 September 2024
Beri Komentar